Anta minnii
bimanzilati aulaadi
Ada 2 masalah yang menjadi keberatan
sebagian Ulama untuk mengakui 2 pernyataan tersebut sebagai wahyu Alloh swt,
yaitu:
A.
Anta minniy bimanzilati aulaadiy
أَنْتَ مِنِّي
بِمَنْزِلَةِ أَوْلاَدِي
B.
Anta minniy bimanzilati waladiy
أَنْتَ مِنِّي
بِمَنْزِلَةِ وَلَدِي
Artinya: Engkau dari-Ku menduduki posisi putra-Ku
Jawaban Ahmadiyah:
1.
Hadhrot Mirza Ghulam Ahmad as bersabda: ”Alloh
subhanahu wa ta’ala adalah suci dari mempunyai anak (Haqiqotul-Wahyi,
catatan kaki hal. 89).
Hadhrot Mirza Ghulam Ahmad as menjelaskan wahyu ini: “Ingatlah bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala
suci dari mempunyai anak. Ia tidak mempunyai sekutu, tidak mempunyai anak dan
tak seorang pun yang berhak mengatakan: “Aku Tuhan atau anak Tuhan, akan tetapi
kalimat ini pada tempat ini merupakan qiasan. Dalam Al-Quranul-Karim Alloh subhanahu
wa ta’ala menyatakan bahwa Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wasallam adalah tangan-Nya sebagaimana
firman-Nya:
يَدُ اللهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ
Artinya: Tangan Alloh berada di atas tangan mereka
(Al-Fath, 48:11).
Demikian pula, Alloh subhanahu wa ta’ala
bukannya mengunakan kata:
قُلْ يَا عِبَادَ
اللهِ
Yakni wahai hamba-hamba Alloh, tapi menggunakan kata:
قُلْ يَا عِبَادِي
Artinya: Wahai Nabi, katakanlah kepada mereka: Wahai
hamba-hambaku! (Az-Zumar, 39:54).
Dia subhanahu wa ta’ala pun
berfirman:
فَاذْكُرُوا اللهَ
كَذِكْرِكُمْ آبآءَكُمْ
Artinya: Maka, ingatlah kalian kepada Alloh subhanahu wa ta’ala seperti ingat kalian kepada bapak-bapak kalian (Al-Baqarah, 2:201).
Hadhrot Mirza Ghulam Ahmad bersabda: “Bacalah
dengan bijak dan hati-hati firman-firman Alloh subhanahu wa ta’ala tersebut.
Dan percayailah bahwa kalimat itu merupakan jenis mutasyabihat (yang mempunyai
bermacam-macam makna). Dan yakinilah bahwa Tuhan itu suci dari mengambil anak
dan tentangku wahyu ini menjadi dalil yang tertulis dalam Barohin Ahmadiyah:
قُلْ إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى الْقُرْآنِ
Artinya: katakanlah bahwa akupun manusia seperti kamu
yang diberi wahyu. Tidak diragukan lagi Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa, semua
kebaikan ada dalam Al-Quran (Arba’in, Jilid II, hal. 8, dikutip dari Barahin
Ahmadiyah, hal.411\202).
Yakni katakanlah bahwa akupun
manusia seperti kamu yang diberi wahyu. Tidak diragukan lagi bahwa Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Esa, semua kebaikan ada dalam Al-Quran (Dafi’ul-Bala, catatan
kaki, hal. 6, Tadzkiroh hal. 297)
2. Dalam Al-Quran terdapat ayat:
فَاذْكُرُوا اللهَ
كَذِكْرِكُمْ آبآءَكُمْ
Artinya: Maka, ingatlah kalian kepada Alloh seperti ingat
kalian kepada bapak-bapak kalian (Al-Baqarah, 2:201).
Ingatlah kepada Alloh subhanahu
wa ta’ala sedemikian rupa seolah-olah kamu mengingat bapak-bapak kamu.
Tuhan bukan bapak kita, tapi berkedudukan sebagai bapak. Sebagaimana satu anak
hanya mengakui satu bapak. Dalam pemahaman inilah pernyataan ketauhidan-Nya.
Demikian pula, Tuhan juga menginginkan bahwa Ia diyakini tidak memiliki sekutu.
Dan dalam pemahaman inilah pernyataan ketauhidan Alloh subhanahu wa ta’ala.
Dan Ia memiliki ghoirot (kecemburuan) bahwa Alloh berkedudukan sebagai bapak.
3. Wahyu ini bukan berbunyi ‘Anta
waladi’, tetapi ‘bimanzilati waladi’ kalimat
ini jelas sekali
menafikan bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala memiliki anak.
4. Yang Mulia Rosululloh
shollAllohu
‘alaihi wasallam bersabda:
a. Dalam Hadits
Qudsi Alloh subhanahu wa ta’ala :
اَلْخَلْقُ
عِيَالُ اللهِ فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ
Artinya: Bahwa semua manusia keluarga Alloh, maka
sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik kepada keluarga-Nya.
(Misykat, babus-Syafa’ah, mathbu’ Nizhomi, ha. 363 dan mathbu’ Mujtaba’i hal.
425).
Menurut Hadits tersebut bahwa semua manusia adalah
keluarga Alloh, maka sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik kepada
keluarga-Nya.
b. Dalam Hadits:
إِنَّ
الْفُقَرَاءَ عِيَالُ اللهِ
Sesungguhnya orang-orang fakir itu keluarga Alloh (Tafsir
Kabir, Imam Razi, jilid 4, hal. 673, cetakan Mesir) (Lihat juga Jamius-Shoghir,
Imam Sayuthi, cetakan Mesir, Jilid II, hal. 12)
5. Syah Waliyullah Shohib Muhaddis
Delhi menulis tentang kata ‘Ibnu Alloh’: Kalau ungkapan anak digunakan
selain untuk menyatakan rasa kecintaan tentulah itu sesuatu yang aneh
(Al-Fauzul-Kabir, hal. 8 dan juga lihat Hujatul-Balighoh, bab XXXVI, Jilid I,
Terjemahan Urdu, mausumah bih sumusullah al-Bajighoh, cetakan Himayat-Islam
Pres, Lahore, Jilid I, hal. 109). Beliau bersabda:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ لَمْ يَفْطَنِ الْوَجْهَ
التَّسْمِيَّةَ وَكَادُوا يَجْعَلُونَ الْبَنُوَّةَ حَقِيقَةً
Yakni sesudah masa permulaan kaum Nasrani, muncullah
generasi baru yang mana mereka tidak memahami sebab penamaan Al-Masih
sebagai anak Alloh dan mereka memahami ungkapan
anak itu dalam arti hakiki.
6. Yang Mulia Maulwi Sahib Muhajir Makki rahmatullah ‘alaihi
berkata dalam bukunya Izalatul-Auham, hal. 520. Yang dimaksud dengan farzan
(anak) adalah Hadhrot Isa ‘alaihis salam yang dianggap oleh orang
Nasrani sebagai anak yang sebenarnya. Namun semua orang Islam mempercayai bahwa
Isa ‘alaihis salam yang dijuluki sebagai anak Alloh itu adalah kekasih
pilihan Alloh subhanahu wa ta’ala. Seolah-olah kata ‘anak Alloh’ mengandung arti sebagai kekasih pilihan
Tuhan. Dalam pengertian ini orang-orang Islam juga mempercayai bahwa Al-Masih
itu sebagai anak Alloh.
Ditulis oleh : Drs Abdul Rozaq