Jawab:
(1) Tatkala Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad diizinkan untuk bermubahalah dengan Ulama,
maka beliau telah menyatakan hal itu dalam buku Beliau “Anjami Atham”. Dan dalam buku tersebut beliau
juga menyebutkan
nama-nama Ulama yang mendustakan beliau. Beliau mengajak mereka untuk
bermubahalah. Nama Maulwi Tsanaullah pun telah disebutkan di antara para Ulama tersebut. Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad menulis: “Bersaksilah
wahai penduduk bumi dan wahai malaikat di langit! Bahwa laknat Allah bagi orang-orang
yang telah mendapatkan seruan ini, tapi tidak mau bermubahalah dan tidak mau
berhenti dari mendustakan dan mengafirkan dan juga tidak mau menjauhi
orang-orang yang memperolok-olokkan”.
(2)
Buku tersebut telah sampai kepada Tsanaullah, akan tetapi Tsanaullah
berdiam diri saja. Ketika para pengikutnya mendesak, barulah Tsanaullah memberanikan
diri untuk bermubahalah dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dan telah berjanji
pula dengan orang-orang. Mendengar janjinya itu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menulis: “Kalau betul dia akan bermubahalah
agar orang yang dusta di antara kita mati lebih dahulu daripada yang benar, maka
sudah pasti Tsanaullah akan mati lebih dulu daripada saya … Hendaknya
janganlah dia berpaling dari janjinya ini (Lihat I’jazu Ahmadi, hal.
14).
Tatkala Tsanaullah membaca tulisan Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad ini, dia menulis: “Dengan
dukacita saya menyatakan bahwa saya tidak berani dalam perkara-perkara
yang semacam ini”. (Ilhamat Mirza, hal. 85).
(3)
Semua pengikut Tsanaullah,
bahkan orang-orang lain pun menyalahkannya
sehingga terpaksa dia menulis lagi: “Saya sanggup mengamalkan ayat
(Faqul ta’alau nad’u abna ana wa abna akum….. al-ayah) itu dan sekarang juga
saya berani bermubahalah” (Surat kabar Ahli Hadis, 22 Juni 1906).
Dan kembali Tsanaullah menulis lagi dalam surat kabar (Ahli Hadis
29 Maret 1907).
Sebagai jawaban atas pernyataan Tsanaullah
tersebut, pengarang surat
kabar “Badar” Qadiyan telah menyiarkan: “Saya memberi kabar suka kepada Maulwi
Tsanaullah bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah mengabulkan seruannya (yang berhubungan dengan mabahalah) itu
(Lihat surat kabar Badar 14 April tahun 1907).
Dalam surat kabar Ahli Hadis 19 April 1907
Maulwi Tsanaullah menulis lagi: “Saya bukan hendak bermubahalah, saya hendak
bersumpah saja atas kedustaan Mirza”. Heran bin ajaib! Maulwi Tsanaullah
sendiri telah menyebutkan ayat mubahalah dan sudah menyatakan kesanggupannya untuk
mengamalkan ayat mubahalah itu, akan tetapi sekarang dia telah memutar
perkataannya lagi. Hendaklah diketahui bahwa dalam mubahalah perlu ada dua
fihak dan perlu bersama-sama berdoa dengan
sungguh-sungguh bahwa fihak yang tidak benar akan
dilaknat oleh Allah, akan tetapi kalau pihak yang satu bersedia, sedang pihak
lain tidak mau, maka mubahalah itu tidak dapat dilaksanakan, sebagaimana
mubahalah kaum Kristen Najran tidak jadi bermubahalah dengan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.
(4)
Dengan keterangan yang disebutkan tadi nyatalah sudah
bahwa Tsanaullah berkali-kali menyeru Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad agar mau bermubahalah, akan tetapi tatkala Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad menerima seruannya, maka
dia mencari jalan untuk lari. Akhirnya pada 15 April 1907 beliau sendiri telah menulis sepucuk surat
yang mengandung doa kepada Maulwi Tsanaullah bahwa barang siapa di antara kita
itu pendusta agar dibinasakan oleh Allah Ta’ala.
Dan pada surat itu beliau meminta kepada
Tsanaullah agar surat itu disebarkan dalam surat kabarnya Ahli Hadis dan
agar surat itu
ditanda tangani sebagai bukti persetujuannya serta harus menuliskan pilihan
mana yang akan diambil atau mana yang tidak apa pada bagian di bawahnya.
Dia menulis lagi dalam surat kabar “Wathan”
26 April 1907, begini: “Wahai Ahmad! Tolonglah
perlihatkan kepada kami suatu mu’jizat agar kami dapat memperoleh nasehat.
Kalau saya telah mati apa yang akan saya lihat dan bagaimana saya akan
mendapatkan petunjuk”.
Tiga keterangan Maulwi Tsanaullah ini
menunjukkan bahwa dia tidak berani bermubahalah dengan Hadhrat
Ahmad ‘alaihis salam. Dia tidak menyetujui ajakan
mubahalah yang disebarkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, bahkan dia telah menulis bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam yang benar itu telah wafat lebih dulu daripada Musailamah
yang pendusta, maka dari itu mubahalah yang dianjurkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad itu tidak sampai terjadi, maka siapakah
yang mati duluan dan siapakah yang mati belakangan itu tidak menjadi soal lagi.